Quintel Blogger theme

A free Premium Blogger theme.

Introspeksi kesantrian kita


Memilih menjadi santri melazimkan bebagai konsekuensi yang tak ringan. Hanya orang yang tak bermental tempe yang memilih menjadi santri. Menjadi santri bukanlah alternatif terakhir ketika tidak diterima di sekolah sekolah negeri, bukan pula hanya sebagai jalan terakhir ketika kenakalan telah menjadi jadi, menjadi santri adalah prioritas utama ketika dunia sudah semakin gila.


Hal terbesar yang ter-tanggungjawabkan pada santri ialah : bahwa ia akan menjadi figur di masyarakat, secara otomatis, masyarakat akan menganggapnya sebagai cerminan islam—secara umum, dan cerminan kualitas pondok pesantren; secara khusus.

Sejak dulu, bahkan sejak zaman sebelum kemerdekaan, santri telah menunjukkan pengaruhnya, janji Allah ‘akan meninggikan orang yang beriman diantara kamu dan diberi ilmu beberapa derajat’ telah, sedang, dan akan terus terjadi.

Lihatlah betapa seorang Santri Hasyim Asyari dapat mendirikan organisasi sebesar NU, atau Santri Achmad Dahlan yang mendirikan Muhammadiyah yang keduanya sangat berpengaruh, atau Santri Hidayat Nur Wahid yang menjadi panutan di Senayan, atau lihatlah peran besar santri di masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia, dan dimasa yang akan datang, akan lebih banyak lagi santri yang menunjukkan kontri-busi bagi umat.

Sayangnya, kontribusi kontribusi santri sering tak tercatat oleh sejarah, orang orang banyak lupa kalau banyak tokoh besar lahir dari: sebuah bangunan tua yang penghuninya: makan di nampan bersama sama, penuh penderitaan bernama pesantren.

Sayangnya lagi, (banyak) santri yang tak bangga dengan predikatnya sebagai santri, mereka lebih suka apabila sekolah di luar pesantren dengan beragam-macam alasan, padahal ‘orang luar’ menganggap sebaliknya, banyak orang tua yang menyekolah-kan anaknya ke pesantren pesantren adalah fakta reflektif dari pernyataan ini.

Dan yang terkena imbasnya adalah santri sendiri : penyimpangan penyimpangan sosial ala santri bermunculan,--yang kebanyakan mennurut non santri dalah hal biasa, ketidak-ikhlasan hidup di asrama kumuh, lalu menjalani hidup di pesantren dengan setengah hati.

Akibatnya opini tentang santri seringkali paradoks dengan fakta yang terjadi di santri. Lalu pesantren di mata orŲ“ng orang hanyalah produsen santri gatal yang pemurung apabila pulang (liburan) ke masyarakat. Yang mungkin telah jenuh berbuat kebaikan di pesantren. Alangkah nikmatnya apabila kita—santri tetap mewarisi sunnah hasanah dari pendahulu pendahulu terdahulu, bukan malah melunturkannya, karena oleh hanya sekedar mengikuti nafsu yang membuat sakaw maksiat.

Lalu ketika kau mencerminkan perbuatan perbuatan tersebut, orang orang akan takjub kepadamu, dan ketika kau ditanya oleh orang: Siapa kau? Maka kau akan berkata dengan tegas dan bangga: Aku santri lantas, kau siapa?.

0 komentar:

Post a Comment

tinggalin komen kamu disini,
aDa yang bisa di bantu ? :)